Ini bukan cerpen, Cuma puzzle tentang cerita perasaan fiksi belaka. Sebelum membaca ini, baca ini dulu ya (Pengakuan). Soalnya satu kesatuan!

_________________________________________________

“Assalamualaikum mas.. Lia uda punya jawaban buat lamaran mas Nizar waktu itu”. Ditengah rindu dan kemelut pertanyaanku tentang kang Arkam, aku tetap tak berani mencurahkan semuanya. Aku tetap tak berani menghubunginya. Yang kulakukan selama hampir seminggu setelah pesannya mendarat di hpku adalah hanya memandang layar percakapan wa miliknya, yang kadang-kadang terlihat online dan berharap kemudian muncul “writing text”. Namun yang kuharap tak kunjung terjadi, sampai status online menghilang, pesan dari kang Arkam tak juga ada.

Setelah seminggu seperti orang bodoh yang menanti jawaban yang benar-benar aku harapkan hanya agar mengurangi rasa sakit ini, hanya agar rasa rindu ini disaut dengan riang disana. Aku menolak semua kenyataan, hanya karena aku tak ingin kenyataan itu. Aku tak ingin kenyataan itu.

“Alhamdulillah ya.. jadi jawabannya apa?” 15 menit kemudian, pesanku mendapat balasan dari mas nizar. Entah bagaimana menyampaikannya. Aku tergugu sendiri dengan semua ketidakpastian ini. Hatiku, fikiranku semua meneriakan orang yang sama, Akang, Lia pengen sama akang. Semakin tersadar, semakin sakit. Kang, bagaimana mungkin Lia bisa menikah dengan orang yang sama sekali hati dan fikiran lia enggak menuju kearahnya. Bagaimana mungkin kang.

Aku membiarkan pesan mas nizar tak terbalas untuk beberapa saat. Aku mengingat-ingat semuanya, dan kali ini aku dikembalikan kehari-hari saat aku di Majalengka.

“Ya… Pernikahan itu sakral, suci, mulia dan bentuk cinta paling agung adalah kecintaan kita kepada pemilik cinta itu sendiri. Diwujudkan dengan memilihkan imam atau makmum terbaik dimatanya, bukan dimata kita ya. Kamu boleh menang di hati akang, tapi kamu belum tentu menang di mata Allah. Karena akhirnya yang akang mau, adalah tentang apa-apa yang dipilihkannya.”

“Kang, kalo akang suka mba risma karena agama dan ketaatannya, kenapa akang gak langsung lamar mba Risma? Bukannya akang ingin mewujudkan kecintaan akang sama Allah dengan memilih makmum yang tepat buat akang?” Kang arkam mangangguk pelan. Matanya menatap sawah yang mulai menguning.

“Allah belum ridho Ya”.

“Emang ciri-ciri Allah ridho itu apa?”

“Segalanya menjadi ringan ya, insyaAllah”.

Sekilas namun tegas, kata-kata itu memberi energi baru untukku. Kubalas cepat pesan dari mas nizar

“Lia pengen ketemu mas.”

 

****

Suasana kafe sore itu tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa pasangan muda-muda dan beberapa gerintil orang yang sibuk dengan gadgetnya hingga dibiarkan dingin makanan yang sudah tersaji didepannya. Di depanku sudah ada mas nizar.

“ya.. Lia mau makan apa?” Katanya lembut sambil membolak-balikan menu.

“Lia gak laper mas”. Kataku sungguhan. Lamaran dan pesan kang arkam benar-benar menyedot fokusku hampir seminggu ini. Aku benar-benar tak merasa lapar, karena perutku merasa cukup sehari makan hanya sekali diwaktu malam atau pagi. Sisanya aku menikam diriku lebih banyak dengan terus menerus merindukan kang Arkam dan membuat diriku dirundung segala hal tentang lamaran mas Nizar yang tiba-tiba.

“Ya.. Kamu baik-baik aja kan? Muka kamu pucet banget ya.” Mataku mendapati Mas Nizar menatap lamat wajahku. Aku mengalihkan pandangan keluar jendela, menghirup nafas sedalam-dalamnya, mencari kekuatan dari mana saja untuk menyampaikan semua kemelut hati ini. Aku tak tahan lagi. Aku ingin kuat, tapi nyatanya air mata lebih dulu menjawab semuanya. Aku kewalahan mengemudikannya, pertahananku bobol seketika. Aku menangis pelan.

Semoga ini terjadi karena memang Allah belum ridho, bukan karena rasa cinta ini yang melebihi kecintaanku kepada sang maha cinta. Ya Allah, maaf.. Lia tetep ingin kang arkam!

Keputusan tetaplah keputusan. Hanya memberi sedikit celah agar aku tetap bisa bernapas meski pelan. Namun, celah sesungguhnya yang aku nanti adalah Kang Arkam. Entah pesan, atau apa yang setidaknya membuatku diberi kekuatan.

Sebelumnya kami sempat bertemu, Kang Arkam yang mengenalkan Mas Nizar padaku saat kunjungan pertama kalinya menemuiku di Jakarta. Dan semoga itu bukan pertemuan terakhir kami. Banyak yang ingin aku ceritakan. Aku selalu butuh kekuatan. Tapi, kedatangan dan kepergian rupanya tetap saling berikatan. Setelah perjalanan kami waktu itu, Kang Arkam menghilang. Entah kemana dia, apa yang terjadi. Aku tak tahu.

Setiap hari yang bisa aku lakukan hanya menunggu. Menunggu yang entah memang pantas ditunggu atau sebaiknya aku tinggalkan sejak dulu. Entah, berkali-kali aku bersujud, meminta maaf jika aku terlalu naif sehingga menolak niat baik seseorang. Menolak sebuah ajakan menuju keberkahan. Semakin hari, semakin tak pasti, aku semakin dirundung rindu yang tak berkesudahan.

“Akang…. Lia rindu akang”.

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here