Kerja di rumah dan bisa menghasilkan uang? Emang bisa?
Dahulu banyak banget orang berpendapat bahwa pernikahan akan menjadi penghalang seseorang untuk berkembang. Terlebih lagi status seorang istri dan seorang ibu yang acap kali membuat kita (perempuan) harus terkungkung dengan kewajiban dan lingkungan rumah. Segala pergerakan serba terbatas dan tentunya pandangan tentang ‘ibu bekerja’ yang meninggalkan kewajibannya sering menjadi sorotan.
Tapi seiring dengan perkembangan zaman dan manyebarnya emansipasi, perempuan dengan status apapun tetap berhak untuk berkembang. Seorang istri jika mau dan perlu kembali bergulat dengan segala rutinitasnya semasa muda, setiap pagi berburu kereta di stasiun menuju tempat kerja, jika itu bisa bikin bahagia, lakukan. Seorang ibu jika mau dan perlu kembali bergulat dengan jadwal-jadwal padatnya sebagai seorang womanpreneur, setiap malam membaca bahan-bahan presentasi, jika itu bisa membuat bahagia, lakukan.
Ikatan pernikahan tak harus menjadikan seseorang kehilangan haknya untuk berkembang. Pernikahan bukanlah sebuah benteng untuk mengungkung segala kreativitas. Tapi justru pernikahan adalah kekuatan baru untuk lebih berkembang, sebuah amunisi baru untuk selalu bahagia, baik dibahagiakan maupun membahagiakan.
Itu menurut pandangan saya yang baru mencicipi peran sebagai seorang istri. Satu yang harus jadi poin penting, adanya support system dari berbagai pihak. Jika berperan sebagai seorang istri, maka perlu support system suami. Jika posisinya sebagai seorang ibu dan seorang istri, maka perlu support system suami dan anak.

Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Futri Zulya S.Mn, M.Bus selaku CEO & Founder PT Batin Medika Indonesia, bahwa sepanjang perjalanannya sebagai womanpreneur yang paling amat sangat dibutuhkan seorang perempuan yang telah terikat oleh peran istri dan ibu adalah support system. Dukungan dari keluarga yang luar biasa menerima segala konsekuensinya. Anaknya yang menerima bahwa ibunya tidak bisa seperti ibu-ibu lain yang mengantar jemput ke sekolah, menemani kegiatan belajar, adalah bentuk dukungan untuk bisa berkembang.
Sebagai pengganti peran yang tidak bisa dimainkan secara utuh seperti ibu di rumah, ibu Futri menggantinya dengan me time setiap weekend, serta tetap mengontrol kegiatan belajar dan bermain anak-anaknya. Mulai dari rutin menelpon guru-gurunya, membuat jadwal harian anak-anak, hingga menyisihkan 2 hari di akhir pekan sebagai quality time bersama keluarga.
Lantas bagaimana jika perempuan itu menyulap dapur atau rumahnya menjadi lahan bisnis? Jika bisa, kenapa tidak?
Hal ini juga menjadi harapan saya dan mungkin banyak perempuan di luar. Menyulap dapur yang tak hanya menjadi tempat tersajinya hidangan-hidangan istimewa bagi keluarga, menyulap ruang bermain yang tak hanya menjadi tempat bercengkrama bersama anak di akhir pekan, menyulap berbagai sisi rumah menjadi lahan bisnis yang hasilnya bisa dinikmati bersama. Bahkan bisa menjadi wadah pekerjaan untuk perempuan-perempuan.
Hadir dalam acara bincang hangat bersama Ibu Futri menjadi amunisi baru untuk kembali melanjutkan langkah yang sempat tidur. Ditanya apakah pernah berbisnis atau bahkan memang memiliki usaha, jawabannya mantap, ya sayapun pernah dan memang memiliki usaha. Meski sempat agak sulit membedakan antara pernah atau memang sedang memiliki usaha, tapi saya harap kedepannya saya menjadi 1 dari sekian bayaknya perempuan yang berani melangkah ke depan. Berani mengemukakan ide dan tentunya merealisasikan ide tersebut. Harapan lebih besarnya, saya bisa menjadi 1 dari 100 perempuan yang berhasil dengan usahanya.
Kenapa tadi disebutkan sulit membedakan antara pernah dan memang sedang memiliki usaha? Karena usaha yang saya jalani lagi terdistraksi oleh peran baru sebagai seorang istri dan juga hmm.. pekerjaan baru. Ujugnya mati suri. Hehehe…

Cerita sedikit boleh ya. Saya memulai bisnis tepatnya fashion sejak tahun 2014. Berawal dari reseller baju-baju terkini, sampai akhirnya lebih mengkrucut hanya menjadi reseller jilbab. Pengalaman menjadi reseller, Alhamdulillah mulus. Hasilnya lumayan dan minim banget resiko. Pelan-pelan, saya mulai ingin lebih berkembang dengan mulai membayar jasa endorse atau paid promote. Di tengah-tengah hasil yang lumayan itu, saya berpikir:
“Kenapa tidak membuat produk sendiri, buat apa mati-matian ngiklan, besarin produk orang. Mending mati-matian besarin produk sendiri”.
Pikiran itu pelan-pelan membuatku mengambil langkah baru. Bermodal uang 2 juta, saya mencoba peruntungan dengan memproduksi jilbab sendiri. Pergi ke Pasar Tanah Abang, pilih-pilih kain, lanjut pergi ke tukang jahit. Awalnya lancar. Bermula karena rasa penasaran teman-teman di tempat kerja dan tempat tinggal, produksi pertama sebanyak 20 jilbab habis di hari ketiga setelah launching.
Menginjak produksi kedua yang sengaja jumlahnya saya buat 2x lipat produksi pertama, kesulitan mulai terasa. Teman di lingkungan sudah ‘mencicipi’ jilbab buatan saya. Ujungnya saya hanya mengandalkan internet. Mencoba peruntungan di sosial media, merebut hati pelanggan dengan tingkat persaingan yang amat ketat. Iya, siapalah saya. Apalah itu Shinjuku (nama brand hijab saya), jelas kalah dengan nama brand-brand lain yang sudah lebih dulu berkiprah. Produksi kedua membutuhkan waktu satu bulan untuk habis.
Lanjut produksi ketiga yang saya kurangi jumlahnya menjadi 30 pcs. Banyak pendatang baru bermunculan bahkan artis-artispun turut serta mencoba peruntungan yang sama. Saya? Makin tersisihkan. Saya hanya bisa sampai produksi ke-5 yang kebanyakan saya jual murah, asal kembali modal. Modal kembali, saya mencoba jalan lain. Yakni jual jilbab lebih murah dengan cara beli di pasar dalam jumlah banyak dengan harapan memiliki target pasar baru, menengah ke bawah.

Dan ternyata harga murahpun tak lantas membuat laris. Hanya sampai berhasil menjual belasan jilbab dan itupun hanya ke teman dekat. Sampai sekarang, bisnis jilbab saya mati suri. Bahkan masih ada sisa beberapa jilbab dan kain yang belum saya produksi. Itulah perjalanan bisnis yang cukup jadi pelajaran berharga.
“Jika tidak ada inovasi atau uniknya dari produk yang kita jual, jangan menjual produk yang pesaingnya bukan tandingan kita lagi”. Itu juga yang diucapkan Ibu Futri dalam bincang ringan bertema “How to start your business”.
Merasa tertonjok banget sama kalimat itu. Betul juga ya, siapa Shinta dan apa Shinjuku jelas kalah dengan Bella dan Lcb, misalnya. Hehe.. Kok ya jadi panjang curhatnya ya.
Satu lagi yang menjadi catatan yang saya dapat dari talk show kemarin, sebuah kesalahan yang pernah saya lakukan juga. Yaitu terlalu idealis hingga menutup telinga terhadap apa yang disuarakan konsumen. Padahal agar produk kita disukai, kita perlu menjadi pendengar yang baik untuk orang lain. Membuka telinga lebar-lebar untuk mendengarkan apa yang dibutuhkan pasar. Jangan terlalu idealis, karena kita menjual produk untuk dinikmati orang lain bukan untuk diri kita sendiri.
Jadi, kita perlu mengesampingkan passion dan menomorsatukan konsumen dong?
Tenang guys, enggak ada larangan dalam bisnis untuk mengikuti passion kok. malah sangat dianjurkan. Karena biasanya bekerja sesuai passion akan lebih bernyawa dan tidak cepat bosen. jika diibaratkan hati, sesuatu yang telah ada aroma cintanya akan terlihat menarik. Gitu sih. Ehehe…
Ketika passion-mu dijadikan pilihan sebagai suatu kegiatan berbisnis, gabungkan pula dengan apa yang dibutuhkan konsumen. Misalnya, ketika saya passionnya memasak, maka yang saya jual adalah produk makanan. Selanjutnya buka telinga lebar-lebar, makanan seperti apa yang sedang dibutuhkan pasar, sejauh apa kebutuhan itu akan bertahan. Lalu eksekusi. Percumakan, mengeksekusi sesuatu makanan yang ramenya musiman.
Jatuh – Bangun – mati suri, bikin kapok enggak?
Jika ditanya, kapok gak bisnis? Enggak! Justru semakin tertantang lagi. Karena harapan saya sebagai seorang istri selain menjadikan rumah sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya anak-anak, tapi juga sebagai tempat terlahirnya inovasi-inovasi baru dalam berbisnis yang semoga bisa menjadi wadah bagi perempuan-perempuan yang membutuhkan pekerjaan.
Terima kasih komunitas social blogpreneur untuk kesempatannya mengikuti talk show bersama Ibu Futri. Kepada Ibu Futri, terima kasih untuk nilai dari talk show ringan yang akan saya gunakan amunisi untuk bangun dari mati suri.
Salam,
Perempuan berani maju
Bekerja sesuai passion itu nggak ada matinya ya mba. Karena dasarnya suka ya asyik aja biasanya mau ujan panas. Hajar ! hahaha
Mau berbisnis memang harus tahan banting, nggak ada kamus kapok.. jangan lupa juga buat selalu sabar dan berdoa (sholat dhuha), insyaAllah diberikan kelancaran rezeki
Seru ya klo udah ngomongin keluarga& bisnis perempuan… Dengab pengalaman yang berbeda-beda jadi mangkin semgat obrolannya
jatuh bangun dalam bisnis itu emang bikin kuat yah, Saya mengalaminya banget soalnya.
Saya selalu takjub dengan yang namanya womanpreneur, terlebih jika ia adalah seorang wanita sudah menikah. Namun, sehebat apapun womanpreneur tidak boleh melupakan kodrat dan peran wanita sebagai ibu rumah tangga. Iya nggak Mbak?
Kalau kata pengusaha sukses mah , jatuh bangun dalam usaha itu sudsh biasa tapi asalkan kamu bisa dapat pelajaran ketika kamu terjatuh dan jangan sampai keulang lagi.
Wajib nih sin menjadi womenprenuer setelah nikah.. kalo tips menpreneur sama juga ga?
Makasih ulasannya Mbak… Aku juga lebih memilih jadi womenpreneur setelah menikah daripada kerja, karena kan jadi womenpreneur tuh lebih fleksibel
wah keren mbak…antara mudah dan tak mudah menjadi entrepreneur… tapi saya katakan mudah dengan adanya internet…sekarang wanita bisa menjadi womanpreneur dgn mudah dan cepat dikenal
Hallo Ka Shinta, membaca kisah membangun bisnisnya membuat saya termotivasi untuk merealisasikan cita2 saya, memulai dengan menjadi reseller bisa coba saja lakukan ya ka dan semoga bisa membuat label sendiri. Intinya dalam bisnis itu harus dimulai dulu ya ka, liat perkembangan, be unique and kreatif and never give up! thanks for sharing ka Shinta dan tetap semangat ya
Semangat ya Shinta dengan bisnisnya, smeoga terus berkembang, perempuan sekarang bisa berkembang dan menjadi pebisnis asalkan ada suport system yang selalu mendampingi
Yap gk yg udah nikah yg blum pun perlu bnget semangat terus teh.. apapun bisa klo afmda niat yamk
Waaah ternyata Mba Shinta pernah bisnis jilbab juga ya ternyata, semoga setelah dapat motivasi dalam acara ini Mba Shinta makin semangat berbisnisnya. Aamiin…
bener aku lebih memilih bekerja sesuai passion dong ya biar lebih bernyawa dan ga cepet bosen kayak kata mbak shinta.
Keren nih acaranya. Dunia bisnis memang begitu, ada waktunya kita semangat karena penjualan melonjak dan ada saatnya mati suri yang artinya dikemdian hari usaha kita harus berlanjut. Aku juga pernah jadi reseller baju koko, dan omsetnya lumayan. Bahkan menjelang lebaran pesanan semakin ramai, bahkan sekali pesan bisa lusinan untuk dibagi ke pegawai. Tapi ya gitu, bisnis kudu tekun dan sabar. Dan blm bisa punya produk sendiri yg laku yg membuat mati suri..
Harus pintar menej segala jg, profesional lah..kadang urusan bisnis dibawa2 ke urusan rmh atau sebaliknya…ini kadang bikin ga nyaman pasangan kita…
Aku baru belajar bisnis juga nih. Baru kecil2an. Tapi susahnya memanej itu yang butuh effort. Salut buat yang bisa punya usaha sukses ya.n
betul juga .. harus disupport dan mensupport
Iya mas… Harus saling memberi dukungan