Ini bukan cerpen, Cuma puzzle tentang cerita perasaan fiksi belaka. Sebelum membaca ini, baca ini dulu ya (PART 1). Soalnya satu kesatuan!

________________________________________________________________

Siapa yang akan menyangka, Bahwa senyum pertama pada pertemuan kami akan menjadi senyum pengantar setiap hari. Senyum penyemangat untuk selalu dan selalu lebih baik. Bahkan aku hampir sulit membedakan antara hidayah dan dirinya yang telah membuatku berubah sejauh ini. Siapa yang akan menyangka, bahwa kota asing di tataran sunda itu adalah tempat tujuan yang inginnya menjadi tempat aku pulang.

Tapi harapan tinggal harapan. Hati tak bersaut rupanya adalah jawaban. Aku tak bisa apa-apa. Di tengah rasa suka dan kagum yang sulit aku kendalikan, kang arkam hanya bisa melihat Mba Risma. Meski ku tahu, segala yang baik ada pada mba risma bukan padaku. Tapi sebagai seorang wanita dengan segala perasaan tak tahu dirinya, tetap berharap dilihat lain oleh yang dicinta.

Bukan. Ini bukan hanya sekedar perasaanku, karena nyata memang kang Arkam menaruh hati dengan mba risma. Meski tanpa pengakuan yang sempat dia utarakan juga padaku, aku bisa melihat dengan jelas perasaan besar itu. Harapan itu. Harapan yang sama sepertiku. Harapan besar yang aku harap kang arkam melihat harapan yang sama sepertinya tumbuh di sini. Di dada ini.

Ironis memang. Perasaan manusia untuk bersautan tak semudah tepukan tangan seseorang di hadapan segala kekaguman. Mba Risma yang menyadari perasaan besar itu, hanya bisa menunduk dan tak bisa memberi jawaban pasti. Sedang, aku di sini.. menyaksikan semua drama itu, tentunya dengan hati yang dikuat-kuatkan. Dengan perasaan yang ditegar-tegarkan. Dan tentu mata yang aku halangi bercahaya lebih lain selain perasaan mendukung mereka menuju apa yang kang arkam inginkan. Inikah yang disebut cinta diam-diam? Aku hanya bisa tersenyum kecut. Meski kadang saat sendiri, aku caci maki diriku sendiri, betapa pecundangnya aku. Betapa tak tau dirinya aku. Entahlah.. Aku tak bisa berbuat lain selain mengijinkan kang Arkam dengan yang dia inginkan.

Semakin aku ingin dia tahu, semakin bersahutan dengan ucapannya tempo hari saat kami duduk di bale-bale, menghadap mushola.

“Akang suka ya sama mba Risma?”

Kang arkam hanya tersenyum. Matanya kembali melihat sosok Mba Risma di dalam mushola, suaranya yang lembut namun tegas terdengar sampai ke tempat kami, mungkin karena kami juga memberi jeda untuk suara itu bisa terdengar sampai sini.

“Ya.. lelaki mana yang tidak teduh pandangannya melihat sosok perempuan seperti itu? Yang akan merasa aman jika meninggalkan rumah karena merasa anak-anaknya ada di tangan orang yang tepat.”

Aku hanya bisa mengangguk, pandanganku kembali menatap keanggunan mba risma di mushola. Jilbab panjangnya yang menjadi perhiasan betapa teduh kepribadiannya. Suaranya yang lembut mengajari anak-anak membaca Al-Qur’an yang kuyakini mampu membuat damai setiap hati yang mendengar. Termasuk hati kang Arkam, dan aku hanya bisa mengangguk setuju dengan segala apapun yang ada dibenak kang Arkam. Aku tak akan kuasa menyaingi Mba Risma.

Ah.. sungguh tak tau dirinya aku.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here