“Kalo suatu haru nanti aku harus pergi ke luar kota untuk keperluan kerja atau sekedar traveling tanpa kamu, boleh?”
“Boleh.”
“Beneran?”
“Aku nikahin kamu bukan untuk ngiket kaki kamu. Karena sebelum nikahpun aku tahu, kita sama-sama suka dunia blogging, yang kadang butuh jarak untuk sendiri dan butuh waktu untuk melangkah sendiri. Aku support kamu dengan apa yang buat kamu bahagia.”
“Saling supportya”
(((Mungkin terdengar berlebihan, tapi mendapat dukungan untuk tetap menjadi diri sendiri adalah hal besar yang bisa membuat kaki ini melangkah dengan begitu leluasa)))
***
Malam itu tiba-tiba saja aku melontarkan pertanyaan itu. Di atas motor yang melaju sedang, membelah jalanan ibu kota. Aku tahu dan mulai mengerti bahwa penikahan versi kami adalah pernikahan yang ikatannya tak seharusnya menjadi penghalang untuk terus berekplorasi. Kami sama-sama faham, bahwa dunia yang kami geluti adalah dunia kreatif yang setiap harinya perlu ide-ide segar agar terus bisa berpijak. Perlu semangat yang selalu hangat untuk mampu menampung banyak hal-hal baru.
Pernikahan versi kami, memang bukanlah pernikahan yang mengharuskan istri selalu berdiam diri di rumah. Bukan pula pernikahan yang mengharuskan istri kemana-mana selalu ditemani suami. Kami sepakat, bahwa ikatan pernikahan ini tidak untuk menjadikan kami tertungkung dengan status kami masing-masing di rumah.
Jalan bahagiaku dan dia berbeda. Jika aku cukup bahagiaku saat melakukan perjalanan, lain halnya dengannya. Dia yang menemukan bahagianya saat duduk di depan laptop, menulis, membaca, atau mengotak-atik web, dengan ditemani coffee Vietnam drip dan kencengnya koneksi internet, sehingga mampu bertahan berjam-jam. Aku tahu, saat itu dia telah menemukan bahagianya, dan aku tak ingin pernikahan ini menjadikan halangan untuk menemukan bahagianya. Maka, aku biarkan dia terbenam dalam dunianya, sedalam-dalamnya, sebahagia-bagianya. Sampai aku menemukan dirinya terlelap karena lelah atau tersenyum karena rasa lapar.
Maka, jika kelakpun aku ingin melakukan perjalanan sendirian, membuatku menemukan kebahagian kecil dari mulai mengepak pakaian, sampai kebahagiaan besar seperti menginjakan kaki di tempat baru dengan penampilan acak-acakan karena perjalanan yang cukup jauh, dia biarkan aku melakukannya sampai aku benar-benar letih karenanya. Untuk kemudian aku pulang dengan banyak kenangan dan berjuta rindu untuknya.
“Sebelum aku memutuskan menikahimu, aku sudah tahu.. Kamu suka jalan-jalan, suka makan, jadi aku gak bisa mengekang kamu untuk tidak melakukan apa yang kamu suka, karena aku berharap hal yang sama dari kamu.”

Tidak ada yang menyukai, jika hal-hal yang membuatnya bahagia dikekang oranglain. Dengan alasan apapun, bagi kami, setiap orang berhak melakukan apa yang bisa membuatnya bahagia. Sepanjang tidak melukai, dan tidak melewati batas norma.
Sepanjang itu pula, aku dan dia tetap berhak melakukan hal-hal yang kami suka, kebiasaan-kebiasaan masa lajang yang membuat bahagia, ikatan pernikahan tak harus jadi halangan. Karena sepatutnya ikatan ini semakin membuat bahagia, bukan justru mengikat kencang hingga lupa rasanya menghirup udara segar di luar.
Kami sepakat, pernikahan ini… mengijinkan kami untuk terus berkembang, untuk terus bahagia, untuk terus bisa melakukan hal-hal yang kami suka. Meski saat melakukannya, aku tak dilibatkan.
Bukankah kebahagian pernikahan ada jika kedua belah pihak saling merasa dibahagiakan? Entah dengan titipan kebabasan atau dengan titipan kepercayaan untuk menemukan apa yang diinginkan. Kamu boleh tak setuju.
Maka jika aku tiggalkan kamu di rumah sendirian, dan aku menikmati petang bersama kawan, jangan merasa merana, karena pulang adalah selalu tentang dimana kamu berada. Dan setiap perjalanan yang kulakukan tanpamu, tentulah ada tumpukan rindu, yang aku biarkan berserakan seadanya, agar bisa kita bersihkan sama-sama. Sebagai cengkarama pertama, saat kita berjumpa (lagi).
Dari kami, pasangan muda sok tahu yang memandang pernikahan dengan versi kami, anak dihitaal (yang ini minta ditampolin content placement X-D).